a blog by Galuh

a blog by Galuh

Duduk Santai Bersama Bukan Perawan Maria

Duduk Santai Bersama Bukan Perawan Maria

Kita bertemu dengan 2018 membawa sedikit was-was dan cemas. Tahun ini pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan di banyak daerah, menyusul setahun berikutnya pemilihan presiden. Dua tahun maraton bakal menguras energi hey. Belum genap sebulan dilalui, hawa hangat (atau panas?) sudah terasa. Bisa tidak diabaikan saja urusan elit ini? Apalah kita kalau bukan remah-remah rengginang yang rontok di pinggir garis pantai terpanjang. Tak berkuasa, cuma bisa puasa menahan diri. Menahan diri untuk berhati-hati melempar komentar, menahan diri untuk tak terpancing emosi.

Masalahnya, keputusan di tataran makro akan mempengaruhi kebijakan yang diambil di lingkungan mikro. Siapa lagi kalau bukan kita-kita remah rengginang ini juga yang kena imbasnya. Mau abai bagaimana, kurikulum 2013 bikin mumet orangtua dan sekolah, E-KTP dikorupsi pak RT pun pusing, dan seabrek-abrek persyoalan lainnya.

Harapan saya agama tidak lagi dijadikan alat untuk kepentingan politik seperti 2014. Cih, ngarep your eyes! Tapi berdoa boleh-boleh aja kan. Siapa sih yang mau ribut sampai terpecah belah, cukup gelas kesenggol aja yang hancur. Kasih sayang kita sesama manusia jangan. Uhuy!

Ngomongin agama, Feby Indirani menanggapi kondisi dengan menulis banyak cerita pendek yang ia kompilasi dalam buku kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria (BPM). Isinya berbicara tentang agama dengan nada yang santai sekali. Feby mengajak pembaca dan masyarakat secara luas untuk rileks. Relaksasi Beragama ia pilih sebagai semangat. Saking santainya, yang biasanya kalau baca tema agama bikin kening berkerut dan hard-feeling, buku ini tidak. Take things slow. Ceritanya pendek-pendek, beberapa suap selesai, lumayan bikin kenyang, dan ga bikin begah.

Berapa lama proses penulisan dan penerbitan Bukan Perawan Maria? Sejak kapan ditulis?

Proses penulisan dimulai saat Ramadhan 2016. Aku memprogram diri untuk menulis satu cerpen setiap minggu, yang akhirnya rampung sebagai manuskrip setelah sekitar 6 bulan (Januari 2017). Setelah itu proses penyuntingan, mencari penerbit, memilih cover. Termasuk munculnya rencana untuk pameran. Per Mei 2017 buku mulai pre-order. Juni 2017 beredar di tangan pembaca, tapi launching dan pameran 15 Juli (sampai 25 Juli 2017).

Apa yang ingin disampaikan dan dikampanyekan dengan dirilisnya Bukan Perawan Maria?

Ketika cerita sudah terkumpul, aku mulai berpikir, ingin merangkum semua cerita ini dengan tema apa? Supaya mudah mengkomunikasikannya kepada publik. Lalu aku mencari termin singkat dan cukup mewakili apa yang dicita-citakan. Aku ingin membuat pembaca jadi lebih rileks dalam beragama, bisa berempati ke orang lain yang berbeda, bisa menertawakan diri sendiri. Lalu aku cerita ke Hikmat Darmawan dari Pabrikultur, yang memang sejak awal mengikuti perkembangan cerpen-cerpen ini ditulis. Hikmat kemudian dengan tangkas merangkum ide tersebut dengan, “Relaksasi Beragama, aja.” Selanjutnya konsep itu terus bergulir sebagai proses interaksi dengan tim Pabrikultur yang kemudian melahirkan pameran seni rupa. Belakangan, gagasan membuat Pelatihan Relaksasi Beragama muncul. Aku mengundang Ferlita Sari, seorang psikolog, coach, trainer berpengalaman untuk membuat modul pelatihan secara matang, karena memang dia ahli dalam hal itu. Jadi, Relaksasi Beragama atau Relax, it’s just religion! menjadi tagline sekaligus judul gerakan, terdiri dari 3 elemen: sastra, seni, pelatihan.

Mengapa hal ini penting?

Menurutku situasi keberagamaan di Indonesia saat ini memang sedang mengalami ketegangan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi bukan berarti sejak dulu kita nggak punya persoalan keberagamaan. Hanya saja segalanya jadi meningkat berkali lipat sejak pemilihan presiden dan kemudian pemilihan kepala daerah (terparah sepanjang sejarah). Sebetulnya keinginan menulis tentang Islam sudah lebih lama jauh sebelum pilkada. Ndilalah waktu akhirnya buku jadi ditulis dan terbit itu memang pas aja, fine tuning.

Kenapa khusus menulis tentang Islam?

Jadi sebagai penulis, aku memang pernah punya semacam kegelisahan mencari tahu apa sebetulnya ‘akar’ku. Lahir di Jakarta, Bapak Sunda, Ibu Minang-Batak-Sunda. Aku tidak pernah merasa memiliki akar tradisi kedaerahan yang kental. Juga bukan orang Betawi meskipun sedari lahir tinggal di Jakarta, yang kerap mengundang pertanyaan pula, apa dan bagaimana sih kita memaknai Jakarta yang merupakan melting pot berbagai suku di Indonesia, yang urban banget tapi sekaligus kampung, yang norak tapi juga keren, yang pernah begitu membanggakan, lantas membuat kecewa habis-habisan. Masih sulit buatku sendiri memahami Jakarta. Aku orang Indonesia, tapi apa itu dan bagaimana kita mendefinisikan Indonesia yang juga begitu beragam dan masih berproses ini? Aaku merasa seperti terombang ambing dalam konteks memaknai identitas. Lalu pada satu titik tersadar, ada satu tradisi dan nilai yang sesungguhnya aku selalu hidup dengannya (saking lekatnya sampai di awal aku tidak menyadari), dan itu adalah Islam. Aku lahir dan besar di keluarga yang sangat kuat memegang nilai-nilai Islam. Tinggal hanya beberapa meter saja dari mesjid tempat kami sholat berjamaah, sekolah madrasah, mengaji, dan aktivitas lainnya. Aktif di organisasi muslim adalah hal yang biasa di dalam keluarga. Aku juga pernah mewakili Indonesia di Muslim Exchange Program Australia-Indonesia, dan sebagainya. Jadi Islam adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan dari nilai-nilai dan tradisi yang kujalani.

Pada titik itu, aku memutuskan ingin dan memang perlu menulis lebih banyak tentang Islam. Kuamini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial untuk mengangkat lebih banyak hal seputar living Islam di Indonesia yang kalau kita mau jujur, tidak selalu positif dan adil terhadap minoritas, bahkan jauh sebelum pilkada DKI lalu. Tapi jarang orang berani mengangkat karena kuatir berkonflik dengan mayoritas. Sementara, aku adalah bagian dari kelompok mayoritas tersebut, dan ini harusnya menjadi tanggung jawabku juga.

Karena aku penulis, maka bidangku adalah menuturkan cerita, narasi. Cerita pendek bukanlah medium yang sering kugunakan sebelumnya. Bukan Perawan Maria adalah buku kumpulan cerita yang pertama. Aku ingin bertutur melalui sastra, karena yakin ini adalah medium yang efektif menumbuhkan empati. Sastra bisa mengungkapkan kebenaran yang mungkin sulit diterima sebagai fakta, namun sekaligus membuka begitu banyak tafsir dan batas imajinasi.

Selain dengan penerbit, bekerjasama dengan pihak mana saja Bukan Perawan Maria untuk mendukung kampanyenya?

Selain Pabrikultur sebagai penerbit, Bukan Perawan Maria didukung Dewan Kesenian Jakarta, khususnya Ketua DKJ Mas Irawan Karseno (pameran diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki). Juga banyak dari individu yang memiliki keprihatinan sama tentang situasi ketegangan beragama kita saat ini, meski tidak semua mau disebutkan namanya secara terbuka. Ada figur seperti Goenawan Mohamad, Inayah Wahid yang sejak awal menjadi pembaca pertama naskah ini dan memberikan dukungan dengan satu dan lain cara. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dan istrinya Trisna Willy datang untuk memberikan pidato di salah satu acara selama pameran berlangsung. Sejumlah seniman mau terlibat untuk menafsir cerita-cerita dalam BPM dengan berbagai bentuk: video mapping, lukisan mural, sulam, cukilan kayu, instalasi, yang menghasilkan pameran tafsir rupa dengan judul sama, Bukan Perawan Maria. Saat ini ada tim yang sedang menggarap pembuatan film pendek dari cerita-cerita di dalam buku ini. Ini semua menjadi dukungan agar cerita-cerita dan tema Relax It’s Just Religion! terus bergulir. Juga di buku cetakan terbaru, aku memasukkan ajakan kolaborasi untuk mengajak seniman dan pekerja kreatif yang tertarik bekerja sama dan memberikan penafsiran baru untuk cerita-cerita dalam BPM. Ada juga pembaca yang kemudian berinisiatif secara pribadi untuk menjadi reseller dan mempromosikan BPM kepada jejaringnya, agar sebanyak mungkin temannya membeli dan membaca BPM. Semua dukungan ini tidak hanya mengharukan buat aku sebagai penggagas, tapi juga memberikan harapan dan optimisme bahwa kita bisa bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan rileks dalam beragama.

Apakah ada misi Bukan Perawan Maria diterjemahkan dalam bahasa asing agar dapat dibaca oleh pembaca yang lebih luas? Kapan akan direalisasikan?

Betul, aku selalu merasa penting untuk sastra Indonesia, cerita-cerita dari Indonesia, bisa dinikmati pembaca dunia dan bisa memberikan sumbangan –betapapun kecilnya– kepada lanskap sastra dunia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar, dan setelah pilkada kemarin dianggap jadi kian konservatif. Semoga BPM bisa jadi suara yang berbeda, di mana cerita-cerita Islam, dari negara berpenduduk mayoritas Islam juga bisa menarik, lucu, dan bisa dinikmati secara universal. Saat ini versi terjemahannya sedang proses pembacaan ulang dan penyuntingan, semoga awal tahun 2018 bisa terbit.

Bukan Perawan Maria tidak diterbitkan oleh major publisher, bagaimana target penjualan dan hasilnya sejauh ini?

Ini adalah salah satu bagian yang beratnya. Terutama di awal, aku benar-benar sampai ikutan kirim-kirim buku juga. Dari hulu ke hilir dikerjakan semua. Sejauh ini—untuk ukuran buku yang tidak dipasarkan di toko buku utama—cukup menggembirakan sih. Penjualan memang perjuangan tersendiri bagi penerbit indie.

Bagaimana animo masyarakat merespon buku ini?

Responnya menggembirakan, tapi memang tantangannya menjual indie ya begini. Karena pemberitaan BPM cukup banyak di berbagai media mainstream maupun akun media sosial, banyak yang sudah dengar minimal judul dan temanya. Tapi kemudian cari di mana? Beli di mana? Masih sering orang bertanya, “aku sudah cari2 di Gramedia kok nggak ada?” Jadi mesti dijawab satu-satu.

Siapa editor BPM? Tidak tercantum di dalam buku. Dan bagaimana proses kerja penyuntingan? Terkait habit dalam proses penulisan-penyuntingan di mana peran editor makin bergeser “hanya” sebagai proof-reader.

Editor BPM Mas Hikmat Darmawan yang punya penerbitan Pabrikultur. Sedari awal proses kerja penyuntingannya cukup dialektis. Fungsi editor di sini juga menentukan judul, menyusun urutan cerita di dalam buku, dan diskusi bersama untuk merumuskan tema Relaksasi Beragama dan konsep si buku serta bagaimana memperkenalkannya ke publik. Menurutku ini fungsi editorial yang sesungguhnya, jadi bukan hanya proof-read seperti yang kebanyakan terjadi saat ini. Proof reader juga penting, dan BPM tidak punya itu sehingga pas saat pertama terbit masih banyak typo-nya, tapi sekarang makin bagus di cetakan terakhir.

Boleh diceritakan bagaimana praktisnya metode Pelatihan Relaksasi Beragama?

Secara singkat, metodenya adalah dengan sekitar 30% lecturing, 30% diskusi kelompok, sisanya adalah permainan, latihan, role playing. Nah untuk ini yang ngerti detilnya psikolog dan trainer-nya, yaitu Ferlita Sari.

Senang mengetahui BPM mengalami ekstensifikasi kampanye hingga ke bidang-bidang yang lain. Buat saya sendiri, cerpen-cerpen di BPM enak dibaca, ringan, handy (masing-masing cerpen bisa diselesaikan dalam waktu singkat sehingga cocok sekali sebagai bacaan mengisi waktu luang). Gak ruwet dan menyentuh aspek penting kehidupan sosial kita. Sukses buat proses penerjemahannya!

Terima kasih. semoga kampanye terus bergulir dan lebih banyak lagi yang ikut mengembangkannya dengan cara masing masing :*

 

 



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.